Tiga tahun belajar dalam sebuah
pekerjaan memang beragam rasanya. Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir saya
diberi pengalaman untuk menjadi seorang guru bimbingan konseling di sekolah,
guru tari di TK, dan menjadi konsultan bidang perkembangan atau di kantor biasa
disebut konselor yang konsen pada perkembangan anak. Saya amat bersyukur dengan
pekerjaan ini. Perlahan kesadaran dan kepedulian saya tentang anak kian tumbuh.
Hari ini saya diutus oleh kantor
untuk membantu orangtua siswa, khususnya ibunya, membantu mereka memahami hasil
diagnose psikologis yang telah dilakukan terhadap anaknya. Dari total seratus
anak, hanya empat anak yang mengikuti test diagnose, dan hanya satu ibu yang
hadir ke sekolah untuk menerima penjelasan dari saya mengenai perkembangan
psikologis anaknya. This hurting me so much. Kasarnya, ini anak elo ngapa juga lo ga memberikan sedikit waktu untuk mengerti
perkembangan anak lo sendiri. Begitu kira-kira. Hehe.
Satu jam saya menunggu di kantor,
menunggu kedatangan ibu-ibu yang seharusnya hadir. While I was waiting for
them, I saw a kid, a special kid. Sebut saja Raja.
Raja dengan tangan kosong berangsur
mendekati teras ruangan untuk duduk dan melepas sepatunya kemudian dengan sigap
dan yakin menyimpannya di rak sepatu. Raja dengan mantap terlihat siap untuk
masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Tidak ada orang dewasa satupun yang
membantu. Hanya ada anak perpempuan yang membawakan kepadanya satu buku tulis
kemudian meninggalkannya sendiri. Saya amat bangga walaupun entah Raja itu
siapa. Kenapa? Karena dia bukan anak laki-laki yang fisiknya sempurna. Tapi saya
tidak ragu bahwa hati dan pikirannya telah sempurna.
Saya ulang,
Raja dengan tangan kosong
berangsur mendekati teras ruangan dengan kaki kirinya yang bengkok sehingga
jalannya tidak seimbang. Kemudian melepas sepatunya dengan sabar menggunakan
satu tangan karena tangan kirinya pun melengkung dan tidak berdaya untuk
membantu tangan kanannya melepas sepatu. Ia kemudian berdiri dengan kuat dan
meraih dan memegang sepasang sepatunya di tangan kanan untuk dia simpan di rak
sepatu. Dia pun tak lupa mengambil buku tulisnya kemudian segera masuk ke
ruangan tanpa disuruh. Raja amat sempurna.
Saya mencari-cari ibunya, tetapi
tidak ada satupun ibu-ibu yang memperhatikan dia. Artinya, dia melakukannya
sendiri, tanpa pengawasan orangtuanya. Jika saya diberi kesempatan berbincang
dengan ibunya, saya tidak segan untuk mengucapkan kekaguman saya kepada ibu
yang mampu membuat anaknya tetap percaya diri dan semangat untuk bermain dan
belajar. Tidak banyak orangtua yang mampu melakukannya saat diberikan situasi
yang amat terbatas.
Raja dan ibunya adalah contoh
teladan, tetapi masih banyak orangtua di luar sana yang mengeluh tidak mampu
menjadikan anaknya juara karena alasan keterbatasan yang terjadi pada anaknya.
Tidak bu, pak, bukan seperti itu. Anak tidak pernah bisa memilih terlahir
dengan keterbatasan. Untuk itu, bantulah anak untuk menjadi tidak terbatas. Bukan
membatasinya dengan sedemikian kelemahan kita dalam berjuang. Itulah kenapa
lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Lebih baik melakukan
usaha untuk membuat potensi kecilnya menjadi besar daripada harus
membesar-besarkan kekurangan yang akan mengecilkan anak.
Memang tidak mudah untuk
mengupayakan pendidikan terbaik untuk anak. Kalau bisa, saya ingin sekali
mengatakan kepada calon ayah dari calon anak-anak saya nanti bahwa “Bekerjalah
sekeras mungkin, akan hadir anak-anak kita nanti yang butuh diperjuangkan. Saya
tidak ingin kita menjadi payah dalam memberikan pendidikan terbaik untuk
kehidupannya”
Pendidikan mahal, baik pendidikan
untuk anak-anak maupun untuk saya yang nantinya akan menjadi seorang ibu. Sebelum
anak saya tumbuh menjadi “besar”, saya dan suami saya nanti harus lebih dulu
menjadi “besar”
InsyaAllah..
Saya tekankan, tidak ada syarat
khusus untuk menjadikan anak juara selain kesungguhan orangtuanya menjaga
amanah dari Tuhan.
Cilegon, 09 Februari 2016
12:25